dunia

dunia
he 7 x

Kamis, 07 Juli 2011

cerpen


Tangisan Jibril di Malam Hari

14 Rajab 1429 H.
Pukul 23:00

Aku masih melihat bintang yang berkedap-kedip di langit, dari satu genteng kaca diantara jajaran genteng lainnya yang semakin kusam di kamarku.  Sembari kuhilangkan rasa rindu yang dalam pada almarhumah ibuku.
            Mataku masih memandang langit, tak bisa aku pejamkan langsung. Rinduku masih dalam, kepada almarhumah ibu, sehingga wajah ibu terpikirkan dan tampak menghalangi pandanganku pada bintang yang berseri-seri di langit. Tak sadar binar air mata mendayung perih dan bergulir di pipiku. Aku seka langsung air mataku dengan tangan, sebelum air mata itu jatuh pada kasur kesayangan ibu. Aku tak mau jika kasur kesayangan ibu ternodai. Karena masih terngiang-ngiang sebuah pepatah ibu:
“ini tempat suci, tempat kamu di lahirkan, lalu pekikan takbir di kumandangkan, disini tempat kamu diberi nama Jibril, tempat kita saling membacakan puisi, di sini tempat ibu mendo’akanmu jika Qiyamullail1, maka jagalah tempat ini”.
Malam masih lengang, hanya semilir angin dan kersik daun angsana2 yang terdengar di luar, tak lupa nyanyian para jangkrik-jangkrik bersahutan.
~
            Wajahku semakin basah dengan air mata, terlihat berkilau saat sinar lampu menyiram wajahku, saat seperti itulah, aku susah tertidur. Akhirnya aku memaksakan diri bangun, lalu pergi keluar rumah, melihat bintang dengan pandanganku, luas mendobrak sisi mataku, aku memandanginya dengan begitu puas. Aku terpekur di teras depan rumahku yang hanya di terangi lampu lima watt. Mataku melihat lihat ribuan bintang dengan cerdik dan akhirnya  tertuju pada bintang besar, yang tampak lebih dekat dari yang lain, yang berkedap-kedip.
~
            Perlahan udara bergerak dari arah selatan tanpa suara, menghalau badanku. Badanku seperti mengerut kedinginan, tanganku semakin erat memeluk kedua lutut. Terlihat didepanku jalan yang masih sepi, basah, dan lengang, seperti kuburan. Terlihat sisa air hujan menggenang di jalan yang berlubang, karena saat Almarhumah Ibuku selesai dimakamkan, air mengguyur kampung halamanku. Aku jadi teringat dan terngiang-ngiang sebuah pepatah ustad yang mengajariku mengaji dulu:
jika seseorang meninggal dan selesai dimakamkan, lalu terjadi hujan, maka hujan itulah rahmat Allah”.
Dalam hatiku, aku berharap seperti itu, karena aku tahu ibuku adalah seseorang yang selalu taat kepada Tuhannya yaitu Allah. Ia selalu mendirikan Shalat lima waktu, bersodaqoh, tak lupa Qiyamullail disepertiga malam. Saat tidurku terlelap saat arwahku masih di alam mimpi, kadang-kadang terdengar suara ibu yang selalu menyelipkan do’a untukku dalam sholat Qiyamullailnya. Namun aku heran dengan kematian ibu yang begitu tak wajar, ibu ternyata mengidam penyakit anorexia syndrome3. Sewaktu ibu berbohong padaku, tetapi aku percaya ibu adalah seseorang yang selalu taat kepada Tuhannya, ibu berpuasa selama dua minggu, ibu memberitahuku bahwa pekerjaannya itu sunah, dan mendapatkan pahala. Malam tiba, ibu beralasan diet mengelak tawaranku untuk makan, padahal ibu seharusnya makan jika telah adzan maghrib berkumandang. Padahal nyatanya, ibu hanya menyembunyikan perasaannya yang masih terluka oleh ayahku.
~
Mataku masih memandang jalan basah, seketika terlihat seseorang tersorot lampu. Bayangannya datang di atas jalan memotong pandangan. Cepat mataku melihat dengan jeli, siapakah seseorang di sana, bajunya dibungkus jaket lusuh hitam, bercelana hitam, bersepatu hitam, semakin hitam saat kegelapan menyelimutinya, langkahnya tergesa-gesa. Tak lama bayangannya mendekat, memendek, dan bersembunyi kebelakang badannya. Lalu terlihat setengah wajahnya, terlihat janggut dagunya yang pendek, ia berjalan terlihat menunduk, dengan cerdik kakinya menghindari lubang-lubang jalan yang masih di genangi air hujan.
            Aku masih melihat gerak-geriknya. Sekarang, ia berjalan didepanku, melewatiku, semakin jauh, lalu menembus kegelapan dan akhirnya hilang dari pandangan.
~
Tidak lama, seseorang datang menyusulnya, berlari tergesa-gesa dari arah si baju hitam datang, melewatiku yang masih memeluk lutut di teras depan rumah. Lalu samar-samar suara riuh orang terdengar dari jauh, datang semakin dekat,  semakin lama riuhnya semakin membesar, satu persatu datang, dua.., tiga.., dan sekelompok orangpun berlari menggelapkan badan jalan yang basah. Dan kini tak lagi lengang. Gemuruh semakin membesar, dan aku terkejut, aku gusur mundur badanku, sehingga punggungku rapat pada tembok bambu rumah yang semakin rapuh.
Riuh terdengar membesar, membesar, saat mereka melewatiku, lalu mengecil dan hilang berlarian menuju kegelapan menyusul si baju hitam.
~
Semilir angin begitu pelan, suatu buntut angin dari keramaian. Aku yang masih teringat almarhumah ibu, memandang terus bintang tadi yang masih berkedap-kedip di langit. Susah bagiku melupakan ibu begitu saja, kata orang, perlu seribu tahun lamanya. Tetapi bagiku ibu tak bisa aku lupakan, meski usiaku sejuta tahun lamanya.
Jauh disamping bintang itu, aku melihat awan menutup bulan, memancarkan sinarnya yang terlihat disisi awan. Tak lama, ia bersinar bulat sempurna. Aku berdecak kagum, bulan membelah awan perlahan, saat semilir angin mendesir lumayan kencang. Terbesit di pikiranku tentang ibu,:
“seandainya ibu melihat ini bersamaku, mungkin inilah pengalaman kita yang pertama kali”.
 Aku berharap dari dulu seperti itu, tetapi, ibu melarang keras aku keluar rumah malam hari, begitu juga alasan ibu memberi namaku Jibril, agar aku bisa melindungi ibu dimanapun, agar aku bisa menjadi seseorang yang menyebarkan kebaikan di seluruh muka bumi dengan kebaikanku.
Mengingat tentang ibu, pasti terkelebat kesedihan dibenakku, tentang kisah ibuku yang trauma atas kejadian yang telah menyakiti hatinya. Saat ibuku TKW Arabia, saat ibuku pulang dari sana, lengkingan tangisanku memecah, aku berlari dan memeluk ibu. Ayahku terperanjat saat ibu melihatnya, mulut ibu tercengang, badannya tumbang membanting lantai, ibu menangis mendayung perih, ayahku kabur membawa wanita simpanannya. Sebelum kabur, ia menyiksa, memukuli ibu, dan ia membawa harta-harta berharganya.
~
Aku masih melihat bulan, mataku yang masih berdecak kagum melihatnya, tak sadar mengeluarkan air mata, tanganku menyeka langsung air mata di pipi, tanganku turun melewati bulir-bulir air mata didagu, lalu mengepal ketika amarah jiwa pada ayahku muncul menyeruak ke otak, tetapi, dengan cepat hatiku meleraikannya. Aku takut, jika aku menjadi anak yang durhaka terhadap orang tua. Tetapi tanganku tetap bergetar kencang, aku bergegas masuk kedalam rumah, melampiaskan kekesalanku. Aku berteriak sejadi-jadinya mencari ibu dalam kesunyian, dan terdengar rambatan suaraku keseluruh alam yang gelap dan lengang, mencekik siulan burung-burung malam, alampun semakin sepi dan lengang. Badanku bergetar, helaan napasku semakin cepat, membuat dadaku tak berhenti bergerak.
            Akupun berlutut dalam tangisan….
~
Pukul 00:30
            Malam semakin mencekam, semakin lengang, semakin dekat dengan waktu sepertiga malam. Aku terkulai lemas diatas lantai berpapan, dalam frekuensi hatiku yang kuat, aku berharap almarhumah ibuku datang ke rumah, mengerjakan sholat Qilamullail yang selalu dilakukanya.
            Aku mencoba berdiri, namun kepalaku terasa berputar-putar, tubuhku seperti melayang, pandanganku seperti gelap dan akhirnya aku tumbang. Badanku membanting lantai. Aku terdiam lalu meringkih kesakitan, terasa badanku diremas-remas, dipukul-pukul, aku berpikir sejenak, dan aku bersyukur aku masih sadar. Aku masih bisa menjalankan niatku untuk melukis wajah ibu di bawah rembulan, yang semakin mekar dilingkari awan dan kini dilingkari halo. Mungkin, aku bisa melihat bulan dengan ibu, walau hanya dengan lukisan wajah ibu yang akan aku lukis di atas kanvas.
~
            Akupun memaksakan diri bangun, bergegas mencari kertas kanvas yang diberikan ayahku waktu dulu, saat aku gemar melukis. Akupun berjalan rusuh, aku mencarinya di tumpukan barang yang berserakan dikamarku. Terdengarlah benturan barang-barang yang aku singkirkan. Akhirnya aku mendapatkanya, aku usap debu-debu yang menghalangi kertas itu dengan tanganku, sesekali meniupnya, dan terlihat miliran debu-debu mengepul terbang.
            Aku bawa kanvas itu keluar rumah, aku letakan sebuah kursi ditaman berumput hijau, dibawah naungan rembulan yang bercahaya. Aku sandarkan kanvas di atas kursi, dengan hatiku yang tenang, aku lukis wajah ibu disana, dan akan aku lukis wajah ibu melebihi keindahan lukisan monalisa.
Tanpa aku hiraukan dingin, meski cahaya lampu tak terlihat sedikitpun mendukungku untuk  melukis ibu. Tetapi, cahaya bulan bisa menerangi tubuhku dan lukisanku yang kini setengah jadi, ujung tuasku menggores tepat di bibir ibu yang akan aku lukis seindah mungkin, semerah mungkin, aku tak mau jika bibir ibu terlihat kurang indah. Karena bibir ibu yang selalu berdo’a untukku, bibir ibu selalu mengucapkan ayat-ayat suci yang selalu ia lantunkan, bibir ibu adalah nyawa ibu, jika aku lukis bibir ibu kurang sempurna, lukisan ibu seperti lukisan  wajah-wajah yang telah aku lukis dulu, yang telah aku tumpuk di kolong ranjang kasur, yang tak pernah aku lihat, aku peluk, aku tatap.
~
Pukul 01:30
            Goresan tuasku berakhir diujung rambut ibu yang lurus, lukisan ibu terlihat sempurna, dengan matanya yang indah, bibirnya yang merah berkilau, rambutnya yang hitam lurus, lehernya yang indah, walaupun perhiasan tak terlihat menempel di sana, tidak lupa dengan alis matanya yang selalu ia polesi dengan pensil alis pemberian majikannya sewaktu ibu TKW Arabia.
            Akhirnya, kini aku bisa menatap lukisan wajah ibu dengan begitu lama, aku angkat lukisanku yang bersandar diatas kursi, aku peluk, aku rasakan dalam-dalam, dan aku seperti memeluk ibu seutuhnya. Mataku terpejam, dan buliran air mata keluar dari sela-sela mataku disana.
            Aku masih memeluk lukisanku, dan terduduk diatas kursi yang terdiam kosong didepanku. Memeluknya lama, anginpun mendesir, menyibak badanku, mengibarkan baju kausku yang lusuh. Tetapi aku semakin hangat, karena aku masih memeluk ibu. Angin terus tanpa henti mengibarkan baju kausku, sedikit-sedikit terasa dingin menerpa  kulit, angin masuk lewat pori-pori baju kaus, mataku yang basah terpejam seketika terbuka, badanku menggigil, gigiku gemeretak, tanganku bergetar. Seketika aku berlari memeluk lukisan wajah ibu ke dalam rumah, berdiam diri menghangantkan tubuh dan wajah ibu didepan bara api.
~
Pukul 02:00
            Bara api hanya menyisakan sampah-sampahnya yang tertumpuk didepanku, kepulan asap tipis bergoyang pelan diatasnya. Dari kaca jendela terlihat bulat bersinar indahnya bulan malam, walaupun bulan telah bergulir jauh dari tengah langit, yang bertanda malam semakin larut, mengundang hari esok yang berbeda.
            Lukisan wajah ibu masih dalam pelukanku, radiasi kehangatan bara api masih terasa hangat pada lukisan wajah ibu. Aku menatap jauh cahaya bulan yang bulat di jendela yang terhalangi embun. Aku tergiur dengan keindahannya, aku berjalan mendekati jendela, aku tiup dengan perlahan kaca jendelanya, dan aku bersihkan embun air yang menempelinya, lalu terlihat bulan masih terlihat indah dilingkari halo.
            Mungkin ini adalah bulan yang paling indah yang pernah aku lihat, namun, tanpa ibu disampingku, bulan yang muncul satu bulan satu kali ini, tidak seindah bulan sebelumnya, karena selain bulan yang memancarkan keindahan, ibu juga masih disampingku. Aku lebih merasakan betapa indahnya jika aku melihat bulan disampingnya.
~
            Kaca yang aku usap tadi sedikit-sedikit tertutup embun malam, dengan butir-butir air kecil, karena dingin terus menyelimuti malam. Badanku masih menggigil dingin, tapi, aku masih tergiur dan kembali melihat bulan bersama lukisan wajah ibu keluar.
~
            Kursi yang kosong masih terdiam disana,  yang telah aku pakai melukis wajah ibu, yang kini basah diselimuti embun-embun air yang dingin, aku berniat duduk, dengan segera tanganku membersihkannya, menyingkirkan embun-embun air, dan terlihat cucuran air jatuh dari ujung jari-jariku. Akupun duduk menatap bulan yang semakin terang, namun, langit begitu polos tanpa bintang, tanpa bintang kesayanganku, sinar bulan mengusirnya dan membiarkannya pergi. Tetapi aku berharap ibuku bisa datang sekarang, melaksanakan shalat Qiyamullailnya dan mendo’akanku.
            Dalam tatapan mataku yang sayu, lelah air mataku terkuras, aku tak bisa tidur, aku hanya bisa berhayal, menunggu ibu bangkit dari kuburannya, dan datang mengerjakan shalat Qiyamullailnya sekarang.
            Aku menunggu begitu lama, daun-daun angsana jatuh tepat dipangkuanku, lalu terbang tersibak angin dan melayang.
~
Pukul 02:30
            Mataku mulai menutup perlahan, kepalaku menggangguk-angguk, tanganku memeluk lukisan wajah ibu semakin erat, aku tidak mau jika berpisah dengan ibu, walaupun hanya dengan gambar lukisan wajahnya. Kepalaku mengagguk-angguk kantuk, dan terdiam diatas lutut, akupun tertidur diselimuti angin. Kesadaranku perlahan menghilang, tetapi suara riuh menyeruak menembus gendang telingaku. Aku terperanjat bangun, terlihat puluhan orang berlarian mengejar sesuatu yang hitam berlari kencang.
            Mataku membulat ketakutan, terlihat mereka mengejar seseorang berbaju hitam, yang akan menghilang dalam kegelapan. Sebelumnya, si baju hitam mendekatiku, melewatiku, disusul puluhan orang, dan aku terperangkap dalam lingkaran mereka, aku panik, memeluk lukisanku dengan erat, agar tidak terkena goresan luka sedikitpun.
            Puluhan orang melewatiku, membantingku, lukisan wajah ibu terlempar jauh, tergeletak diatas tanah basah, tepat didepan si baju hitam yang berlari kencang. Aku bergegas mengambilnya, tetapi seseorang bersepatu hitam telah menginjaknya, menginjak tepat di wajah ibu yang aku lukis sempurna. Disusul puluhan orang yang berderap berlarian diatasnya, meninggalkan jejak kotor para sepatu diatas lukisanku, diatas wajah ibu, diatas bibir ibu yang indah. Hatiku seperti ditusuk ribuan jarum, mataku mendayung perih, air mataku pecah, aku mengambil lukisan yang telah tak bernyawa. Aku memeluknya, dan berlari menyerang pembunuh ibuku.
~
            Aku berlari tergesa-gesa, terbayang sepatu hitam dipikiranku saat berlari, aku catat dalam memoriku ialah pembunuh ibuku.
            Aku melewati puluhan orang yang berlari begitu cepat, lalu mencengkram si baju hitam, aku melayang jatuh diatas tanah berlautan batu, berguling terlihat didepanku si baju hitam, amarahku melonjak menyeruak dalam otak, aku mengambil serpihan batu disamping tubuhku, aku terpejam, dan menancapkannya tepat didada si baju hitam. Seketika ia tak bergerak, helaan napasnya terhenti. Mataku terbuka memandanginya, aku lihat wajahnya yang merah tersiram darah. Aku tercengang kaget, terdiam, hatiku dihuni jutaan rasa, ternyata ia ayahku, yang jelasnya ia pembunuh ibu, ia telah menginjak lukisan wajah ibu dengan kakinya.
 

Cisarua, 19 Juli 2009


Footnote

1.      Qiyamullail                  : waktu sepertiga malam kira-kira pukul 02:30, biasannya Qiyamullail waktu yang paling tepat untuk melaksanakan shalat Tahajud.
2.      Pohon Angsana           : pohon penghasil kayu berkualitas tinggi dari suku fabaceae.
3.      Anorexia syndrome     : hilangnya nafsu makan yang disebabkan diet yang ketat, bisa menyebabkan kematian.





Rabu, 06 Juli 2011

puisi

Kejaran Paradigma

Awan semu
Tertiup agin; melayang
Tenggelam dalam riuh ombak lautan
Berdiri tegak terhalang tombak
Merayap, menerkam, menikam
Berlari terus berlari
Pergi ke bukit Sinai
Menutupi diri dengan bumi
Sembunyi di dalam bumi
Menangkis senja menuju malam
Tetapi tak bisa
Senja menembus kegelapan
Aku melayang terbawa hilang
Beracu pada kuda semu
Dibawah naungan pelangi hitam

08 April 2009